Senin, 08 Juni 2009

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

PERUBAHAN ARAH KIBLAT BERDASARKAN

SURAT AL-BAQARAH AYAT 142-144

“MAU MENARIK SIMPATI, MALAH DICACI MAKI”

Selama berada di Mekkah, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin melakukan shalat dengan menghadap ke arah Ka’bah di Masjidil Haram. Namun, ketika beliau berhijrah dan tiba di Madinah beliau bersama umat Islam sholat menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina yang juga merupakan arah kiblat orang-orang Yahudi. Umat Islam melaksanakan sholat dengan menghadap ke Baitul Maqdis ini selama kurang lebih enam belas bulan. Pengalihan arah kiblat tersebut untuk menarik hati orang-orang Yahudi kiranya dengan arah kiblat yang sama mereka diharapkan mau mengikuti Islam, karena kiblat merekapun mengarah ke sana. Namun, rupanya mereka bukannya mengikuti Islam malah mengejek Nabi dan umat Islam karena dianggap mengikuti kiblat mereka. Dalam hal ini terjadi selisih pendapat yang datang dari ahl ‘ilm, sebab muasal mengapa baet al-Muqaddas dijadikan kiblat & apakah ini perintah allah & apa tujuannya ?

Menjawab hal ini semua seorang mufassir dalam kitabnya annuktu wal ‘uyun tasir mawardi menjelaskan, menurut Rabi’, Abi Aliyah & Hasan bahwa nabi menghadap baet al-Muqaddas berdasarkan pendapat & ijtihad nabi sendiri dengan tujuan menurut Abi Ja’far Atthabari agar mempersatukan ahl kitab & mempersahabat mereka dengan mengubah atau mempersamakan arah kiblat. Akan tetapi konsequensi yang ada sangat jauh dari harapan. Assyaikh Muhammad ‘Ali Ashobuni dalam kitabnya Shafwatut Tafaasir menambahkan bahwa orang-orang yang menentang perubahan arah kiblat malah berkomentar lain yang tak lain mengejek perbuatan nabi yang mengikuti kiblat mereka & megklaim pasti adanya kekeliruan nabi dalam hal penerimaan wahyu, sehingga mereka merasa ragu.

Allah SWT berfirman:

Artinya: (As-syufaha’ (orang-orang yang lemah akalnya) di antara manusia akan berkata: “Apa yang memalingkan mereka dari arah kiblat mereka (Bait –al maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?. Jawablah : “Milik Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya kejalan yang lurus.)

As-syufaha’ adalah orang-orang yang lemah akalnya, atau yang melakukan aktifitas tanpa dasar, baik karena tidak tahu, atau enggan tahu, atau tahu tapi melakukan yang sebaliknya. & dalam kitab baet al-Muqaddas kata yufaha disini di tujukan pada tiga kaum : kaum yahudi, kafir quraisy & orang-orang yang menolak perubahan kiblat. Ayat ini berkaitan dengan sikap orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin yang mencemooh umat Islam. Mereka mempertanyakan, “Apa yang membuat mereka (umat Islam) berpaling atau pindah dari kiblat mereka yang dahulu?. Kenapa tadinya mereka mengarah ke Mekkah kemudian pindah ke Baitul Maqdis, atau tadinya ke Baitul Maqdis sekarang ke Ka’bah lagi. Kalau mengarah ke Baitul Maqdis atas perintah Allah, mengapa mereka mengarah ke Ka’bah, tentu ada kekeliruan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin.

Allah tidak menjelaskan mengapa Dia mengalihkan arah kiblat yang akhirnya mengarah ke Ka’bah. Ketika Nabi hijrah, Ka’bah masih dipenuhi berhala, dan kaum musyrikin Arab mengagungkan Ka’bah bersama-sama berhala yang mereka tempatkan di sana. Namun, tidak disebutkannya sebab pengalihan itu memberi isyarat, bahwa perintah Allah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah mahdloh (murni) tidak harus dikaitkan dengan pengetahuan manusia tentang sebab musababnya. Ia harus diamalkan, walaupun memang pasti ada sebab atau hikmah di balik itu. Setiap muslim diperintahkan untuk melaksanakannya, namun tidak dilarang untuk bertanya atau berpikir guna menemui jawabannya.

وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin jika nanti ada omongan atau pertanyaan orang-orang Yahudi tentang kenapa umat Islam mengalihkan kiblat. Allah memerintahkan agar Nabi mengatakan bahwa milik Allah arah barat dan timur, jadi kemanapun arah kiblat ya terserah Allah. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Yang nukil dari tafsir ibnu katsir tentang Ayat ini, dan Allah lebih mengetahui, mengandung hiburan bagi Rasulullah saw. dan para sahabatnya yang diusir dari Mekah dan dipisahkan dari masjid dan tempat shalat mereka. Ketika Rasulullah saw. di Mekah, beliau shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, padahal Ka'bah berada di depannya. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau shalat masih menghadap ke Baitul Maqdis selama 17 bulan. Setelah itu, Allah menyuruhnya menghadap ke Ka'bah. Oleh karena itu, Allah berfirman,

"Kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah."

Abu Ubaid al-Qasim bin Salam mengata-kan dalam bukunya an-Nasikh wal-Mansukh: Al-Hajjaj bin Muhammad menginformasikan kepada kami. Kemudian dia meruntunkan sanadnya hingga sampai kepada Ibnu Abbas, dia berkata, "Ayat Al-Qur'an yang telah diceritakan kepada kami dan yang pertama kali dinasakh ialah mengenai masalah kiblat. "Allah Ta'ala berfirman: "Kepunyaan Allahlah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah." Maka Rasulullah saw. mencari arah untuk menghadap, lalu beliau shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan meninggal-kan Rumah yang kuno. Kemudian Allah menyuruhnya kembali menghadap ke Rumah yang kuno, dan Dia menasakhnya dengan, "Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya." (Al Baqarah ayat 149) dan ini membungkam hujjah mereka yang berpendapat bahwa perubahan ini bersifat sementara dan berhujjah mengahadap ka’bah hanya pada waktu itu saja.

Menurut Mujahid, firman Allah, "Ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah" berarti di mana pun kamu berada, kamu memiliki kiblat berupa Ka'bah yang harus dihadapi. Ulama yang lain mengatakan bahwa ayat itu ditururikan sebagai pemberian izin dari Allah untuk menghadap ke barat atau timur, selaras dengan perjalanannya, dalam melakukan shalat sunnah dan khauf. Abu Karib meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa dia shalat ke arah mana saja binatang kendaraannya itu menghadap. Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah saw. pun melakukan hal seperti itu dan dia menafsirkan ayat, "Ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah." Keterangan ini diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawih dari berbagai jalan dari Abdul Mulk bin Abi Sulaiman. Dalam shahihain keterangan itu berasal dari hadits Ibnu Umar dan Amir bin Rabi'ah, tanpa menuturkan ayat di atas.

Ibnu Abi Jarir meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Mujahid, dia berkata bahwa setelah ayat "berdoalah kepada-Ku, niscaya Kupenuhi untuk-rau", maka orang-orang bertanya, "Ke arah mana?" Kemudian diturunkanlah ayat, "Ke mana pun kamu menghadap, maka di sanalah wajah Allah."

"Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui."

Ibnu Jarir berkata, "Makna 'sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui' ialah Dia meliputi seluruh makhluk-Nya dengan kecukupan, kedermawanan, dan karunia. Kata 'Maha Mengetahui' berarti Dia mengetahui berbagai perbuatan makhluk dan semua yang akan terjadi atau belum terjadi. Tidak ada satu perbuatan pun yang samar bagi-Nya dan tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya. Dia Mengetahui keseluruhan perkara."

Jawaban ini sekaligus menyiapkan mental kaum muslimin ketika menghadapi aneka ragam gangguan serta gejolak pikiran menyangkut peralihan kiblat. Dengan demikian, diharapkan jiwa mereka lebih tenang menghadapi hal-hal tersebut.

(Dan demikian Kami telah menjadikan kamu ummatan wasathon agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rosul (Muhammad SAW) manjadi saksi atas perbuatan kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (dalam dunia yang nyata) siapa yang mengikuti Rosul dan siap yang membelot. Dan sungguh perpindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali kepada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan Allah tidak akan menyia-nyikan iman kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Penyayang.)

Ketika manusia dalam posisi di tengah dalam arti tidak memihak ke kanan dan ke kiri maka ia akan dituntut bersikap adil. Posisi di tengah menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dari berbagai penjuru. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain. Tetapi, ini tidak dilakukan kecuali jika mereka menjadikan Rosul SAW sebagai saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan mereka.

Pergantian arah kiblat, boleh jadi membingungkan sebagian umat Islam dan menimbulkan aneka pertanyaan dari Yahudi atau kaum muysrikin Mekkah dalam menggelincirkan mereka. Karena itu, disebutkan dalam ayat tersebut, “..dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu sekarang melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rosul dan siapa yang membelot. Allah sebenarnya telah mengetahui siapa yang akan terus mengikuti Rosul dan siapa yang membelot. Tetapi Dia ingin menguji manusia sehingga pengetahuan-Nya terbukti dan nyata. Di samping itu, bukan hanya Dia yang mengetahui siapa yang tetap beriman, tetapi orang yang diuji dan orang lainpun juga mengetahui. Oleh sebab itu kejadian ini bisa dipendapati bahwa ini merupakan kejadian filterasi kaum muslim sendiri & kaum munafiq. Dan ini mendasari ayat yang menyatakan “kuntum khoiru ummatin” karena ada juga yang berpendapat bahwa kata “wasath” disini berarti khiyar (pilihan).

Allh Swt. berfirman: Wakadzâlika ja‘alnâkum ummat[an] wasath[an] (Demikian pula Kami telah menjadikan kalian sebagai umat yang adil dan pilihan). Huruf al-kâf berfungsi li tasybîh (untuk menyatakan keserupaan). Ketika diletakkan pada ism al-isyârah (dzâlika), keserupaan itu merujuk pada ayat sebelumnya. Dengan demikian, kata tersebut memberikan makna: Sebagaimana Kami telah memberikan nikmat kepada kalian berupa hidayah atau Kami telah menunjukkan kalian pada awsath al-qiblah (kiblat terbaik), Kami juga menjadikan kalian sebagai ummah wasath.[2]

Dalam bahasa Arab, kata wasath bermakna khiyâr (terbaik dan pilihan).[3] Menurut sebagian mufassir kata wasath dalam ayat ini pun bermakna khiyâr.[4] Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah yang diberikan kepada mereka, Islam. Ibnu Katsir menyatakan, ketika umat ini dijadikan sebagai ummah wasath, Allah mengkhususkan mereka dengan syariah paling sempurna, manhaj paling lurus, dan madzhab paling jelas.[5] Oleh karena itu, status mulia itu dapat disandang apabila mereka menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Makna ini juga sejalan dengan firman Allah Swt.:

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3]: 110).


Menurut Abu Said al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan al-Rabi, kata wasath dalam ayat ini berarti al-‘âdil.[6] Al-Qurthubi, Abu Hayyan, Ibnu ‘Athiyah, dan beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian.[7] Penafsiran tersebut merujuk pada penjelasan Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Said dan Abu Hurairah ra., bahwa ummat[an] wasath[an] adalah ‘adl[an].[8] Tidak sedikit pula mufassir yang menghimpun dua makna itu, tanpa menolak salah satunya. Karena itu, kata wasath[an] dimaknai khiyâr[an] udûl[an] (pilihan dan adil).[9]

Selanjutnya Allah Swt. menerangkan kembali tentang pensyariatan kiblat yang telah disebut dalam ayat sebelumnya. Allah Swt berfirman: Wamâ ja‘alnâ al-qiblah al-latî kunta ‘alayhâ illâ lina’lama man yattabi’u al-Rasûl mimman yanqalibu ‘alâ ‘aqibayh (Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot).


Para ulama berbeda pendapat mengenai al-qiblah al-latî kunta ‘alayhâ. Sebagian mufassir seperti Ibnu Abbas, as-Sudi, dan Atha’ menyatakan, yang dimaksud adalah Bait al-Maqdis.[14] Az-Zamakhsyari, al-Alusi, dan an-Nasafi memaknainya Ka‘bah.[15] Alasannya, karena Rasulullah saw. pertama kali shalat menghadap Ka‘bah, kemudian diperintahkan menghadap Bait al-Maqdis, setelah diperintahkan kembali menghadap Ka‘bah. Alasan lainnya, kata kunta bermakna al-hâl (sekarang).[16]Adapun kata yanqalibu ‘alâ ‘aqibayh berarti kembali pada kekufuran, murtad.[17]


Ungkapan lina‘lama tidak boleh dipahami bahwa Allah Swt. hanya mengetahui perkara yang sudah terjadi. Sebab, Allah Swt. Maha Mengetahui semua perkara, baik sebelum, sedang, maupun sesudah terjadi.
Oleh karena itu, pengetahuan di sini berkait erat dengan pahala dan dosa;[18] bahwa manusia bisa mendapatkan pahala dan dosa setelah terbukti dalam kenyataan. Untuk itu, manusia harus diuji ketaatannya.

Dengan demikian, frasa ini dapat dipahami bahwa disyariatkannya kiblat, baik yang dulu maupun yang sekarang, adalah untuk menguji manusia agar bisa dibedakan dan dilihat dengan jelas, siapa yang tetap yakin dan konsisten mengikuti segala perintah Rasulullah saw.; siapa yang membangkang, berpaling, dan murtad dari agamanya.


Allah Swt. pun mengingatkan: Wa’in kânat lakabîrat[an] illâ ‘alâ al-ladzîna hadâllâh (Sesungguhnya hal itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah Allahi tunjuki). Kata kabîrah bermakna tsaqîlah syâqqah (sangat berat).[19] Kata tersebut merupakan khabar dari ism mahdzûf (subyek yang dihilangkan). Diperkirakan, kata yang hilang itu adalah tahwîlat al-qiblah (pengalihan kiblat).
Dengan demikian, maknanya adalah: pengalihan itu benar-benar terasa amat berat bagi orang-orang yang ingkar. Sikap mereka berbeda dengan orang-orang yang menerima petunjuk dan mau mengikutinya. Bagi mereka, semua yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan adalah haq dan wajib diikuti. Karena itu, tidak ada keberatan bagi mereka untuk menaatinya.


Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wamâ kânallâh liyudhî’a îmânakum (Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian). Huruf al-lâm berfungsi li ta’kîd al-nafiyy (untuk memperkuat penafian). Frasa ini memberikan pengertian, Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala keteguhan kalian dalam keimanan.[20] Menurut Ibnu ‘Abbas, al-Barra’ bin ‘Azib, Qatadah, as-Sudi, dan para mufassir lain, yang dimaksud dengan kata iman di sini adalah shalat.[21] Kesimpulan tersebut didasarkan pada sabab nuzûl ayat ini, bahwa yang mereka kerjakan sebelum adanya perubahan kiblat tidaklah sia-sia.


Allah Swt. mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya: Innallâh bi an-nâs la Ra’ûf[un] Rahîm (Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia). Kedua kata itu memiliki makna yang sejalan. Kata ar-ra’ûf berasal dari kata ar-ra’fah. Kata ini bermakna asyaddu min al-rahmah (lebih dari rasa kasih).[22] Kata ar-rahîm berasal dari kata ar-rahmah. Frasa ini menjadi catatan akhir, bahwa semua syariah yang ditetapkan Allah merupakan wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Sudah sepatutnya, manusia pun merespon setiap ketetapan yang berasal dari-Nya, baik tampak menyenangkan atau sebaliknya.

(Sungguh kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram adalah benar dari Tuhannya. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan).

Ayat ini menurut Assyaikh Muhammad ‘Ali Ashobuni dalam kitabnya Shafwatut Tafaasir merupakan merupakan ayat muqaddimah untuk ayat 142. Kata Qod dalam ayat ini diterjemahkan ”sungguh”. Ada juga yang memahaminya dalam arti sedikit, sehingga ayat di atas diartikan “Kami sekali melihat wajahmu dst”. Betapapun artinya, yang jelas melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa Dia mengetahui keinginan isi hati atau do’a. Ayat di atas kemudian menambahkan uraianya dengan menyatakan “ maka guna memenuhi keinginanmu serta mengabulkan doamu “Sungguh Kami akan memalingkan mu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.

Sementara ulama sufi menggaris bawahi bahwa ayat ini memerintahkan mengalihkan wajah, bukan hati dan fikiran. Karena hati dan pikiran hendaklah selalu mengarah kepada Allah SWT. Hati dan isinya adalah suatu yang ghaib, maka sesuai dengan sifatnya ia harus mengarah pada yang Maha Ghaib. Sedangkan wajah adalah sesuatu yang nyata, maka ia pun harus diarahkan pada sesuatu yang nyata, yaitu bangunan bentuk kubus yang berada di Masjidil Haram. Karena disana ada kata syatrun yang berarti nisfun atau sebagian.

Setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad SAW telah dikabulkan, maka perintah kali ini tidak hanya ditujukan pada beliau sendiri tetapi juga ditujukan kepada semua manusia tanpa terkecuali.

Ayat ini diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW sedang sholat Dhuhur bersama para sahabat di suatu rumah di Madinah yang dikenal dengan masjid Bani Salamah. Pada saat itu Nabi masih sholat menghadap Baitul Maqdis maka beliaupun mengarahkan kiblatnya ke Ka’bah. Oleh karena itu, selanjutnya masjid tempat wahyu ini turun disebut masjid Dzul Qiblatain (Yang memiliki dua kiblat).

Dan DR. Quraisy shihab menambahkan dalam Tafsir Misbah bagaimana dengan as-sufaha yang disinggung sebelum ini ? lanjutan ayat menjelaskan bahwa: sesungguhnya orang-orang yang diberi al-kitab yakni Taurat dan injil mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga Tuhan kaum muslimin. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat Baitul Maqdis dan ka’bah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu.

CATATAN KAKI:


[1] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191-192. Al-Qurthubi dan az-Zuhaili menyatakan, para ulama sepakat, ayat ini turun kepada orang yang mati ketika mereka masih shalat menghadap Baitul Maqdis. sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari dari al-Barra’ bin ‘Azib. Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 11.

[2] Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâ’ib al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 420. Dengan sedikit perbedaan redaksional, kesimpulan yang sama juga dikemukakan al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 91.

[3] Ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 8.


[4] Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87.


[5] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 237.


[6] Ath-Thabari, Jâmi‘ al- Bayân, vol. 2, 8.


[7] Al-Qurthubi, Op. cit., 104; Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 595; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 219; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 164.


[8] As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 265; ath-Thabari, Op. cit., vol. 2, 9.
At-Tirmidzi menyatakan, hadis dari Abu Said itu hasan sahih. Lihat: al-Qurthubi, Ibid., 104.


[9] Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 1 (Qathar: Idârat Ihyâi al-Turats, 1989), 300; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 225; asy-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 45; asy-Syaukani, Op. cit., 188; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 125; Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 300.


[10] Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 1
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 415.

[11] Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘ânî at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 87; as-Suyuthi, Op. cit., 265; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, 404; asy-Syaukani, Op. cit., 189; al-Qinuji, Op. cit., 300; asy-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân, 45.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Bashra, Abi Hasan Ali bin Muhammad bin habib mawardi. Annuktu Wal ‘Uyun Tasir Mawardi. Beirut, Lebanon: Darul Kitab Ilmiah. Tt.

Quraisy, Sihab. Tasir Al- Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2002.

Asshobuni, Muhammad ‘Ali. Shafwatut tafaasir. Beirut: Dar Ehia Al-Tourath Al-Arabi. vol. 1

Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub. 1997. vol. 1

Ath-Thabari. Jâmi‘ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992. vol. 2

an-Naisaburi, Nizhamuddin. Tafsîr Gharâ’ib al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1996. vol. 1

Jumat, 29 Mei 2009

TUGAS UAS SPI


Nama : Zainur Rahman

Kelas : IB PAI Reguler

NIM : (108011000064)

Mata Kuliah : Sedjarah Peradaban Islam


PELAYARAN ISLAM NUSANTARA

Tulisan-tulisan tentang asal mula islamisasi di kawasan Asia Tenggara, hampir di mulai dengan pasai atau kota-kota pelabuhan lainnya sepanjang pesisir timur laut sumatera dan pesisir utara laut Jawa. Tidak dapat disangkal bahwa dengan adanya kota-kota Islam tersebut kegiatan sekuler dan perdagangan berkembang pesat baik di kota pelabuhan maupun pedalaman.[1]

Hanourani memberikan gambaran tipe kota Islam yang ideal adalah yang mencakup lima komponen utama walaupun tidak mutlak. Pertama yaitu keberadaan benteng kota atau bangunan pertahanan. Kedua, adanya kota raja atau wilayah tertentu yang mencakup tempat tinggal raja, kantor pemerintahan, serta fasilitas bagi kepentingan pasukan pribadi raja (pengawal). Ketiga, adanya komplek urban di pusat kota yang terdiri dari masjid-masjid, sekolah-sekola keagamaan, pasar serta pemukiman-pemukimn khusus untuk kelompok tukang dan pedagang juga tempat tiggal para bangsawaan, kelompok etnis asing yang tinggal menetap, juga kelompok pemeluk agama minoritas. Kelima, wilayah luar yang disebut daerah pinggiran kota sebagai pemukiman bagi pendatang baru atau bersifat sementara ke kota itu.[2]

Seperti pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa yang mendorong munculnya kota pusat kerajaan Demak dan kota-kota pelabuhan seperti Jepara, Tuban, Gresik, Sedayu, membentuk rangkaian kota pelabuhan yang strategis. Hal ini didukung pula dengan dominasi pedangang-pedagang Muslim dalam lajur pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka, sepanjang pesisir Jawa sampai Maluku. Satu hal penting lagi untuk kajian perkotaan di Asia Tenggara juga dipengaruhi faktor magis-religius berhubungan dengan kosmologi.[3]


Ø PERLAK SEBAGAI KERAJAAN PERTAMA

Laporan Marco Polo dalam perjalananya dari China ke Persia tahun 1292, menyatakan bahwa dia telah mengunjungi enam dari negara vassal yang ada di Sumatra di Sumatera dan hanya satu diantaranya yang telah memluk Islam yaitu Ferlec yang kemudian dikenal dengan Peurlak. Para pedagang Muslim telah mengislamkan para penduduk urban sedangkan penduduk di pedalaman masih melanjutkan tradisi lama mereka.[4]

Ibnu Batutah pada tahun 1345 dalam perjalanannya melaporkan behwa telah bertemu Sultan al-Malik az-Zahir yang juga telah mengirimkan utusannya ke Delhi dan China. Kerajaan ini telah berpenduduk Islam yang taat, hal ini juga ditulis Fa-Hien dalam perjalanannya ke negeri India.[5]


Ø MALAKA

Mulai dari Sumatera Timur, Islam kemudian berkembang di Malaka sepanjang jalur perdagangan.

- Perkembangan Pelayaran terjadi pada tahun 1445-1459 Malaka diperintah oleh Sultan Muzaffar Shah. Penyebaran Islam dilakukan sendiri sehingga mengalami perkembangan yang pesat dan mampu menguasai perdagangan. Sumbangsih kota pelabuhan Trengganu & Kedah menjadi Negara vassal Malaka sehingga menerima Islam daerah-daerah sebelah sisi barat sumatera seperti Rokan, Kampar, Siak, juga Indragiri menerima Islam sebagai konsekwensi pengakuan kedaulatan Malaka pada abad XV.

- Ibu kota Sungai Johor & dipindahkan pada tahun 1511 ke Kepulauan Riau untuk mengakomodasi kepentingan bangsa aceh.


Ø ACEH

Aceh sebagai pengganti Malaka menjadi Kerajaan Islam yang kuat dan menjadikan pasai sebagai bagian dari wilayahnya sekitar pertengahan 1524 disusul Lamuri dan Aceh Dar al-Kamal sehingga mengukuhkan Aceh sebagi pemegang komoditas lada.

- Perkembangan Pelayaran mulai terjadi pada masa pemerintahan ‘Ala’ al-Din (1548-1571). Pada pemerintahannya Aru & Johor berhasil ditaklukan & dengan bantuan persenjataan kerajaan Dinasti Ottoman (1562), portugis di malaka diserangnya.

- Puncak Kejayaan Aceh berlangsung pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637) dan ini bisa dikatakan kejayaan pelayaran Islam di sumatera pada waktu itu. Karena sepanjang pantai Sumatera dapat dikuasai dalam rangka berlangsungnya perdagangan lada. Dan secara otomatis pintu penyebaran Islam pun terbuka. Sehingga, pada masa ini pula sekitar Gayo dan minangkabau diislamkan.

- Peninggalan berupa sebuah Istana yang dilapisi emas sehingga dikagumi bangsa barat sebagai masjid besar dengan ruangan.


Ø MINANGKABAU

Dataran tiggi padang menerima pengaruh islam lebih terakhir.

- Tokoh islamisasi di Minangkabau yaitu Syekh Ibrahim yang mengajurkan agar menjalin hubungan dengan islam di jawa.

- Sangat masuk akal Minangkabau mempunyai jaringan islamisasi dari Aceh lewat pidie lewat pariaman melalui jalur perdagangan Muslim pada akhir abad IX.

Hubungan dengan Aceh diawali dengan perseteruan antara penguasa Minangkabau dengan Aceh dan diakhir dengan perkawinan penguasa Minangkabau dan saudara perempuan sultan Aceh. Minangkabau mendapatkan wilayah teritori pantai yang cukup luas dari mertuanya (Aceh), sehingga Minangkabau harus menjalin hubungan dengan para pedagang Muslim.


Ø JAWA

Tahun 1524-1546, Islam mengalami persebaran yang sangat cepat keseluruhan Jawa bahkan sampai Kalimantan. Hal ini merupakan usaha sultan Demak ketiga yaitu Trenggono yang bergelar Sultan Ahmad Abdul ‘Arifin melalui serangkaian penaklukan Sunda Kelapa, Majapahit, dan Tuban sekitar yahun 1527.[6]

Pengakuan kekuasaan Demak oleh Banjarmasin dan palembang semakin memperluas persebaran Islam itu sendiri & dibantu oleh Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat, daerah pedalaman sekitar G. Merapi, Penging, dan Pajang juga menyatakan tunduk pada Demak.

Hasanudin meluaskan agama Islam sampai Lampung & Sumater Selatan. Bangsawan sunda juga banyak yang masuk Islam. Setelah pengganti Hasanudin berkuasa, Banten mulai seringkali terjadi konflik antara Banten dn VOC.[7]


Ø MALUKU & SULAWESI

Penyebaran Islam mencapai kepulauan Maluku mengikuti jalur perdagangan mulai pertengahan akhir abad XV.

- Tokoh & Raja penyebar Islam yaitu Tuhubahahul dan diteruskan oleh Raja Zainal Abidin (1486-1500) setelah berpulang dari jawa (madrasah Giri) untuk mendalami Islam dan juga[8] .

- Berkat sebuah qadi yang bernama Ibrahim di Ambon didirikan sebuah masjid beratap tujuh yang meniru masjid di Giri. [9]

- Kekuatan Islam di wilayah ini didukung oleh kerajaan Gowa dan Tallo yang menjalin hubungan baik dengan Ternate dan Giri. Raja Islamnya yang pertama adalah Alaudin (1591-1636) pada tahun 1605.[10]

- Penyebaran Islam sesudahnya menyesuaikan dengan tradisi keharusan seorang raja memberitahukan hal baik kepada yang lain maka raja-raja Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone juga menerima Islam.[11]


Ø KALIMANTAN

Islam di Kalimantan hampir sama dengan daerah lain, yaitu banyak berkembang di daerah pesisir.

- Indikasi Islam telah ada sejak abad XVI yang dianut oleh sebagian masyarakat Banjarmasin.

- Islam yang berkembang tidak lepas dari usaha yang dilakukan oleh kerajaan Islam di Jawa yaitu Demak sebagai syarat yang harus dipenuhi Banjarmasin untuk mendapatkan bantuan kekuatan melawan musuhnya.

- Islam mulai masuk ke daerah ini dari pantai barat laut yang kemudian menyebar ke sukadana di Kalimantan Barat pada tahun 1550 dibawa oleh orang-orang islam dari palembang. Tahun 1600 agama Islam telah menjadi agama umum rakyat di sepanjang pesisir setelah raja mereka memperistri puteri kerajaan Demak pada tahun 1590. seorang syekh dari mekah bernama Syamsiddin datang ke Sukanada memberikan penghargaan kepada rajanya berupa Kitab suci Al-Qur’an, cincin,berukir, dan piagam serta pemberian gelar kehormatan sebagai sultan Muhammad Saifuddin.[12]

- Suku Idaan di Kalimantan bagian utara memandang orang Islam sebagai bangsa yang lebih mulia dari mereka sendiri. Suku dayak sejak tahun 1671 sampai tahun 1764 telah banyak yang beralih memeluk agama Islam. Hal ini tak telepas dari masuknya bangsa-bangsa lain dari luar seperti Arab, Bugis, Melayu, Cina yang telah berlangsung sejak abad VII. Memang mayoritas Muslim Kalimantan adalah keturunan asing dan bukan penduduk asli.[13]


Ø BALI, LOMBOK, SUMBAWA

Islamisasi di Bali erat hubungannya dengan Jawa. Setelah runtuhnya Majapahit oleh Raden Patah, banyak bangsawan Hindu yang melarikan diri ke Bali(1481). Islam yang ada sedikit sekali dan mayoritas adalah pendatang. Masuknya Islam di Lombok khususnya pada bangsa sasak tidak terlepas dari peranan mubaligh Bugis yang telah banyak diislamkan oleh raja Bone. Pertama melalui perdagangan bangsa Bugis yang dilanjutkan lewat hubungan perkawinan setelah sebagian pedagang Bugis Muslim tersebut menetap di Lombok.[14]

Beralihnya agama orang sasak menjadi Islam membuat Lombok terbagi menjadi dua kelompok yang sangat bertentangan yaitu suku sasak dengan Islamnya dan suku Bali yang masih menganut Hindu. Pada abad XVIII Bali justru mampu menguasai suku sasak walaupun komunitas suku sasak lebih besar. Pemerintahan Hindu Bali sangat sewenang-wenang sehingga Muslim sasak mengadakan pemberontakan. Ketidakseimbangan kekuatan menyebabkan sasak meminta bantuan pada Belanda pada tahun 1894, barulah Islam dapat berkembang.[15]

Islam Sumbawa dan Flores hampir sama dengan di Lombok yang berkembang antara 1540 sampai 1550 walaupun tidak dapat ditemukan catatan yang cukup. Meletusnya Gunung Tambora dimanfaatkan Haji Ali, Tokoh Islam saat itu untuk mengingatkan masyarakat akan kewajiban terhadap agamanya. Hal ini ternyata sangat membantu pengislaman penduduk Sumbawa.[16]



[1]Perdaban Islam Pra-Modern di Asia Tenggara, hal, 381

[2]A.H Hanourani dan S.M Stern, “The Islamic City in Light of Recent Research”, dalam The Islamic City, A Collogium, (Oxpord: Bruno Cassiarer,1970), hal. 9-24.

[3]Tjandrasasmita, Sejarah Nasional, hal. 215

[4]P.M. Holt, Ann K.S Lambton, Bernard Lewis, The Cambridge History Of Islam, vol. 2 ,

(New York: Cambrige University Press, 1970). Hal. 123.

[5]Ibid, Hal. 12

[6]H.J de Graaf dan Th. G. Th. Pigeud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. (Jakarta: Grafiti Press, 1985). Hal. 49

[7]Sartono Krtodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid I (Jakarta:Gramedia,1987). Hal 114

[8]Perdaban Islam Pra-Modern di Asia Tenggara, hal, 382

[9]H. J. de Graaf, Disintegrasi Mataram di bawah Amangkurat I , (Jakarta:Grafiti Press,1987). hal. 15

[10]Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, 9jakarta:MUI,1992) hal. 26

[11]Tjandrasasmita, Sejarah Nasional, hal, 26

[12]Thomas W Arnold, The Preaching of Islam, (Jakarta: Widjaja,1981) hal. 341

[13]A.S Harahap, Sedjarah Penjiaran Agama Islam di Asia Tenggara, (Medan: TB Islamiyah,1951) hal. 42

[14] Ibid,54

[15] Ibid,55

[16] Ibid,55

Rabu, 14 Januari 2009

Tugas Kelompok Terakhir kls IB


BERSAING DENGAN PELAJAR INTERNASIONAL


Mengacu pada laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) 2004, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia diukur dari indikator kesehatan, pendidikan, dan ekonomi jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Indek Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia berada pada peringkat 111 dari 175 negara, jauh di bawah Singapura (25), Brunai Darussalam (33), Malaysia (58), Thailand (76), atau Filipina (85). Walaupun Indikator pendidikan tidak serta merta mencerminkan posisi pendidikan di suatu negara, kenyataan penilaian kuantitatif atas praktik pendidikan ini sangat memprihatinkan.

Penilaian yang dilakukan oleh badan dunia itu ada benarnya jika kita melihat pada stara pendidikan tinggi pun Indonesia tidak termasuk pada 100 universitas top di Asia Pasifik dan 500 universitas top di dunia. Berdasarkan penilaian versi Majalah Asiaweek 2000, universitas yang dipandang baik seperti UGM hanya menduduki peringkat 68 di Asia. ITB yang dipandang universitas teknologi terbaik di Indonesia hanya menduduki ranking 21 di Asia. Apakah memang bangsa ini sudah kehilangan stok orang-orang baik, cerdas, religius dan bermartabat? Apa bangsa ini tidak memiliki daya saing untuk berdiri sama tinggi dengan negara-negara kecil berpenduduk jutaan? Atau memang sistem pendidikan kita buruk yang tak sanggup melahirkan dan memunculkan orang-orang pintar berintegritas? Atau memang politisi kita berkualitas “di bawah standar” sehingga tak mampu merumuskan kebijakan dan praksis pendidikan yang mengubah bangsa ini lebih visioner. Bukti awal buruknya kualitas orang Indonesia tercermin dari calon wakil rakyat yang menggunakan ijazah upers (baca: tidak lulus sekolah), pemakaian ijazah aspal, korupsi yang merajalela, dan ketakmampuan memberi apresiasi pada orang lain. Di tingkat pendidikan dasar banyak sekolah seperti kandang kambing dan menyedihkan. Perguruan tinggi Indonesia pun tidak berbicara banyak di forum internasional, padahal memiliki lembaga riset dan dewan pakar.

Negara Indonesia penduduknya melimpah dengan anak-anak sangat cerdas, unggul dan berkemampuan istimewa. Sudahkah anak-anak unggul ini diberi pendidikan khusus sesuai amanat UU No 40 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional? Sudahkah negara menyadari pentingnya memfasilitasi anak-anak berkemampuan istimewa dengan pendidikan yang berbeda? Sudahkah ada eksperimentasi tentang sekolah-sekolah yang didesain untuk menciptakan siswa yang memiliki kecerdasan akademik? Tahun 1970-an muncul Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) yang dapat memberi layanan anak-anak istimewa untuk berkembang cepat. Selanjutnya tahun 1990 Depdiknas berkolaborasi dengan Dephankam dan Taman Siswa memunculkan pendirian SMA Taruna Nusantara di Magelang yang bertujuan menghadirkan calon-calon pemimpin maa depan.. Sekarang, muncul kelas akselerasi di SMA terbaik di berbagai kota yang didukung oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa Depdiknas. Produk pendidikan yang disebutkan di atas memang mampu melahirkan anak cerdas bermasa depan. Bahkan sekolah Intenasional di Indonesia sudah menggunakan kurikulum berstandar International Baccalaurrets Organizaion (IBO).

Produk sekolah-sekolah unggul di Indonesia pada saatnya akan dapat memunculkan insan cendekia yang profesional yang didasarkan pada keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness). Namun, sampai sat ini pendidikan kita masih memanen hasil awal manusia yang suka menghina dan meledek, menyalahkan orang lain, bahkan mengungkit-ungkit masa lalu yang kelam. Bahkan, industri komunikasi kita masih memproduksi televisi yang menyuguhkan tayangan yang tidak masuk akal, pornografi yang bertentangan dengan nilai agama dan rasionalitas. Namun, dibelantara ketidakmasukakalan dan disfungsi spriritualitas masih ada insan-insan cendekia yang memiliki personal dan social skill karena mereka memiliki kemampuan berkomunikasi untuk melakukan susuatu yang baik.


  • Mengklasifikasi Kemampuan Dengan Fasilitas

Anak-anak yang diidentifikasi berkemampuan unggul menghendaki layanan pendidikan berbeda dari anak-anak normal sehingga ia mampu memberi kontribusi pada dirinya atau masyarakat khususnya. Kemampuan anak berkemampuan unggul mencakup kemampuan intelektual umum, bakat akademik khusus, berpikir kreatif dan produktif, memiliki jiwa kepemimpinan, memiliki kekampuan dalam bidang seni, penampilan, dan kemampuan motorik.

Anak yang demikian wajib memperoleh fasilitas pendidikan yang sanggup mengakomodasi kepentingan dan motivasi belajar. Ia perlu guru-guru yang baik yang sanggup berperan sebagai motifator, fasilitator, kawan, dan pemandu bakat. Semua anak jenis ini memiliki “pikiran berbeda” dibandingkan dengan anak-anak normal. Ciri penanda anak berkemampuan ini adalah (a) memiliki pemahaman, konsep dan metode bidang-bidang tertentu , (b) mampu mengaplikasikan pemahaman, konsep, dan metode itu pada bidang lain dengan kreatif, (c) selalu berkeinginan untuk menghasilkan sesuatu yang sempurna pada setiap pekerjaannya, (d) selalu memiliki keinginan untuk berkompetitif dan berbeda pendapat, (e) kemampuan belajar cepat, dan (6) konsisten mempelajari bidang-bidang tertentu yang disukainya.

Anak-anak berkemampuan istimewa itu harus diberi pendidikan yang istimewa untuk menghasilkan karya yang istimewa. Jika potensi kecerdasan akademik ditambah dengan keterampilan personal dan sosial oleh orang-orang yang mengasihinya (orang tua dan guru di sekolah) maka ia akan dapat menghasilkan karya-karya unggul. Seorang insinyur sipil produk fakultas teknik jelek, akan mengkorupsi semen dalam campuran beton bangunan dan jembatan, dan tidak menyadari bahwa kecurangan itu akan dapat membahayakan keselamatan penghuni apartemen, gedung pertemuan, sekolah, dan banjir bandang. Peristiwaitu, tidak akan terjadi jika Insinyur kita dididik di laboratorium dengan cara membuat beton, diuji hasilnya dan dikomunikasikan kepada asosiasi profesional, dan anak diberi penghargan. Maka jangan heran kalau proyek-proyek yang dilakukan pemerintah hanya berusia setahun. Karena semua perencana pembangunan mulai pimpro sampai pekerja lapangan berbuat curang. Jalan bebas hambatan Yogya-Prambananmisalnya, baru diremiskan sudah banyak aspal yang mengelupas.

Anak berkemampuan unggul tidak akan melakukan tindakan yang dinilainya tidak bergengsi dan memalukan seperti menipu, memalsu dan bohong. Dengan demikian, menciptakan Indonesia yang bermartabat 20 tahun yang akan datang diperlukan pemandu bakat anak-anak unggul dari orang tua yang sedih melihat Indonesia terpuruk. Oleh karena itu, sedini mungkin dilakukan pemanduan bakat (talent scouting) anak-anak yang memiliki kecerdasan akademik. Anak-abak yang demikian itu ada di seantero Indonesia, baik anak orang miskin maupun berpunya yang diberi kesempatan sama untuk melanjutkan dan mengembangkan kompetensi mendasar yang dimiilikinya, sanggup berinterkasi dengan para pemimpin di bidangnya, menerapkan dan mengkomunikasikan pengetahuan berkaitan dengan masalah-masalah muthakhir


Oleh :

  • Zainur Rahman
  • Siti Rubiah
  • Robyansyah
  • Siti Qory Maryam
  • Sadudin
  • Saiful Anam

Minggu, 11 Januari 2009

Tugas terakhir UAS CB


KARAKTER GURU ISLAM PROPESIONAL

Guru sangat berperan penting dalam dalam meningkatkan mutu pendidikan. Semua karakter yang ia miliki harus dimanifestasikan dalam proses belajar mengajarnya. Ia harus bekerja keras untuk mengajar siswa. Guru harus pintar dan kreatif merencanakan pelajarannya dengan serius, serta melakukan evaluasi secara terus-menerus.

Namun, pada realita di lapangan kondisi guru saat ini sangat jauh dari ideal, seperti: tidak disiplin, tidak suka bekerja keras, tidak jujur, mudah putus asa, malu mengakui kesalahan, senang jalan pintas, tidak rasional, guru tidak menguasai sains dan teknologi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru-guru yang berkelakuan seperti diatas belum memiliki karakter yang sudah semestinya dimiliki oleh semua guru atau ada kemungkinan belum mengetahui sifat-sifat yang sudah semestinya dimiliki oleh semua guru khususnya yang beragama islam dan bahayanya ini baru tersadari setelah propesi guru telah disandang.

“Meluruskan pohon yang telah besar merupakan hal yang sulit oleh sebab itu luruskanlah dari semenjak kecilnya”. (Ahlaq Lil Banin)

Depdiknas salah satu institusi pemerintah yang diberikan amanat oleh rakyat harus bekerja keras untuk menghasilkan guru yang professional melalui perguruan tinggi yang dikelolanya mendidik calon guru demi menciptakan generasi baru yang intelek, transformative, dan professional. Sehinga semua calon guru khususnya islam memiliki enam karakter[1] dan dapat mulai ditanamkan sedini mungkin sebelum menjadi guru, yaitu:

  1. Bertakwa kepada Allah, bertujuan untuk membentuk guru yang memiliki rasa cinta kepada Allah dan mampu untuk bekerja semaksimal mungkin mencapai optimum experience. Dengan rujukan etos kerja para rasul, dan sahabat.

Seperti yang telah pernah praktekan selama 4 minggu yang meliputi:

    • Beriman Kepada Yang Ghaib khususnya Allah & Hari Akhir dengan kondisi sekarang kurang mengenal asmaul husna dengan usaha mengikuti pengajian remaja di mushala ataupun masjid
    • Shalat Khusyu dengan kondisi sekarang kurang mengetahui maksud khusyu dengan usaha berusaha shalat berjama’ah di masjid ataupun di rumah
    • Bersedekah dengan kondisi sekarang tidak setiap hari bersedekah & belum sepenuhnya ikhlas dengan usaha menjatahkan Rp.1000 dari uang jajan untuk disedekahkan setiap hari untuk pengemis
    • Membaca Qur”an dengan meperhatikan maknanya dengan kondisi sekarang dengan usaha bertilawah setiap ba’da subuh dan mengulang hafalan al-qur’an
    • Tahajjud dengan kondisi sekarang tidak melakukannya secara konsisten (setiap hari) dengan usaha mengakhirkan shalat isya & tidak tidur terlalu larut
    • Berdzikir Di Waktu Senggang dengan kondisi sekarang menonton televisi atau tidur setelah maghrib dengan usaha membaca yasin & ratib al- athas apabila ada waktu senggang

Ø Pengaruh setelah mempraktekan:

Ø Ketaqwaan merupakan sifat yang harus tertanam sejatinya pada setiap muslim dalam berpropesi apapun. Namun, khususnya guru agama. Dan karena ketaqwaan pula kita dapat berusaha secara maksimal & menyadari bahwa Allah merupakan tuhan yang demokratis terhadap ciptaannya dengan merujuk ayat “Innallah la yughoiru ma bi Qoumin hatta yughoiru ma bi anfusihim” yang berarti Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila mereka sendiri tidak mau merubahnya”.

2. Kematangan pribadi, penanaman karakter ini bertujuan untuk menanamkan rasa percaya diri, rasa bangga menjadi guru, rasa senang menyandang predikat guru

Seperti yang telah pernah praktekan selama 3 minggu yang meliputi:

· Mengerti & Menghargai Orang lain dengan kondisi sekarang terkadang egois terutama apabila bertemu dengan yang berlainan prinsip dengan usaha mendalami kejiwaan manusia dengan membaca buku psikologi

· Tidak Melimpahkan Wewenang & Sigap dengan kondisi sekarang selalu menyuruh segala sesuatu kepada orang lain apabila disuruh & leha-leha dengan usaha langsung menjalankan apa yang telah disuruh terutama apabila orang tua & tidak mengatakan “entar dulu”dengan merujuk Firman Allah SWT : Wala Taqullahumaa ”Uf” Yang memiliki arti: Dan janganlah pernah berkata kepada mereka berdua (orang tua) ”Uh”

· Ikhlas & Sadar Diri dengan kondisi sekarang segala kegiatan harus di suruh baru jalan & akhirnya dilakukan dengan terpaksa dengan usaha sadar apabila ada sesuatu yang sudah semestinya dilakukan sehigga tidaka ada keterpaksaan dalam mengerjakan suatu kegiatan

· Bertindak Hati-Hati dengan kondisi sekarang selalu bertindak semaunya & semberono & asal jadi dengan usaha berhati-hati & berusaha secara maximum dalam mengerjakan tugas

· Mandiri dengan kondisi sekarang selalu mengandalkan segala pekerjaan rumah kepada pembantu dengan usaha membereskan seprai setiap setelah bangun tidur & membuat teh sendiri & membereskan baju sendiri setiap pulang kuliah

· Berwibawa dengan kondisi sekarang sering bercanda di setiap kondisi dengan usaha bercanda pada tempatnya & tidak bercanda berlebihan

Ø Pengaruh setelah mempraktekan:

Ø Guru merupakan propesi yang berinteraksi langsung dengan orang lain yang tidak lain adalah muridnya sendiri sehingga secara tidak langsung harus mengerti cara mengenal diri sendiri sebelum belajar mengenal karakteristik murid-muridnya sesuai sabda nabi SAW : Ibda Bi Nafsika”. Dan ini mengindikasikan kita harus membenahi diri sebelum membenahi diri orang lain sehingga kita dapat lebih mudah mengurus orang nantinya & tidak egois & merasa pintar sendiri di hadapan murid. Sebab, di zaman modern seperti ini tidak menutup kemungkinan adanya murid yang lebih pintar daripada gurunya sendiri.

3. Kematangan bersosialisasi, rasa ini dibangun melalui pemupukan rasa kepedulian dengan sesama. Seperti yang telah pernah praktekan selama 2 minggu yang meliputi:

· Berbagi Dengan Yang Lain dengan kondisi sekarang hal yang mungkin tapi berat untuk dilaksanakan dengan berbagai kendala internal dengan usaha meminjamkan uang kepada teman yang kekurangan & menawari makan or minum kepada teman yang ngekost

· Memahami & Menerima orang lain apa adanya dengan kondisi sekarang sedang berusaha memahami sifat seorang “adik” yang sensi dan kalau bisa merubah pula menjadi lebih baik dengan usaha berusaha mengajaknya supaya terbuka apabila memiliki masalah & tidak berlaku sesuatu yang membuatnya sensi ketika di hadapan

· Peduli Dengan Yang Lain dengan kondisi sekarang dalam menjalankan dengan usaha menyarankankepada teman yang berpenampilan kurang cocok & siap memberikan saran & nasehat kepada teman yang meminta

· Tertib Aturan dengan kondisi sekarang terkadang melanggar seperti apabila pada satu hari semua dosen yang tidak killer maka aqu memakai kaos & sandal dengan usaha walaupn pada satu hari tidak ada dosen yang killer tetap mentaati kode etik kemahasiswaan yang ada

· Membuat Nyaman & Senang Orang Sekitar dengan kondisi sekarang kurang rapih dalam berpenampilan dengan usaha berpenampilan macthing & kalau bisa memakai wewangian & minimal tersenyum ketika berbicara dengan yang lain

Ø Pengaruh setelah mempraktekan:

Ø positive thinking, membuka hubungan, membina hubungan, dan akhirnya mampu untuk membangun jaringan dengan menghimpun kekuatan friendship, mengetahui dan menyadari pentingnya hidup dengan sosialisasi, dapat menyimpulkan secara sepihak “Percuma Memiliki Ilmu Tanpa Pandai Bersosialisasi”. Dengan meruju pribahasa arab: Al-ilmu bila a’malin ka syajri bila tsamarin. Yang berarti: Ilmu bagaikan pohon. Apabila tidak diperaktekan. Maka, tak ubahnya bagaikan pohon tanpa buah.

4. Kematangan intelektual, bertujuan membentuk guru yang mampu belajar mandiri, dan mau belajar dari lingkungan. Karakter ini akan diperoleh dengan cara membiasakan berfikir kritis, berfikir tingkat tinggi, berfikir kreative melalui kegemaran membaca dan menulis.

Seperti yang telah pernah praktekan selama 2 minggu yang meliputi:

· Dapat Mengusai Sains & Tekhnologi dengan kondisi sekarang Hanya mengakses internet sebagai sarana hiburan walaupun izenk dengan usaha Mengakses internet dengan niat menggali informasi yang lebih bermanfaat di waktu senggang

· Gemar Membaca dengan kondisi sekarang ke perpustakaan umum hanya karena ketika ada presentasi mata kulyah saja dengan usaha ke perpustakaan umum di setiap waktu istirahat

· Aktif Dalam Mengikuti Berdiskusi dengan kondisi sekarang malas dengan usaha aktif dalam diskusi kelas minimal menanggapi & menambahkan satu permasalahan & siap menerima kritik & menghargai pendapat orang lain

Ø Pengaruh setelah mempraktekan:

Ø Sudah seharusnya bagi setiap manusia yang memiliki agama & berpegang teguh kepadanya & khususnya setiap calon guru PAI untuk tetap mengasah keintelektualan sebab di zaman yang serba modern ini tidak hanya harus mengajar dengan mengambil pegangan hanya kepada beberapa buku sebagai alat atau bahan dalam pengajaran. Sebab, kriteria dipilihnya sebuah alat tertentu sebagai pendukung kegiatan belajar mengajar ditinjau dari efektifitasnya dan hasil yang dapat timbul dari perhatian murid-murid atau bisa dikatakan “interestkah anak-anak murid dengan adanya alat tersebut? Lain halnya apabila seorang guru memiliki kemampuan lebih, terutama apabila mengusai sains & tekhnologi tentu apabila di tinjau dari efektifitasnya & interest lebih jelas, yaitu:

§ Menghemat waktu & tenaga

§ Lebih membuat anak murid kepada pemahaman yang lebih cepat

§ Tidak memforsir tenaga seorang guru dalam menerangkan sebuah pelajaran.

§ Lebih menarik intensi murid-murid sehingga pada penerangan sebuah mata pelajaran lebih tertuju / terfokus sehingga kelas menjadi lebih aktif. Dan membuat pembahasan berkembang karena membuat guru lebih mengarah kepada open minded & cenderung kreatif

Dan kami bersyukur semua program yang kami lakukan telah dilaksanakan dengan baik dan lancar tentu dengan segala kekuranganya yang berupa faktor-faktor, yaitu : kemalasan, kelalaian, masalah internal dan letih yang disebabkan karena observasi ini merupakan aktivitas harian yang terkadang mesti dilaksanakan terkadang sepulang kuliah atau berbenturan dengan berbagai aktivitas perkuliahan, pribadi ataupun sosial



[1] Aida, Nur dan Rihlah Nur Aulia. 2008. Character Building of Guru PAI. Jakarta: Aulia Publishing House).